Agus Wirawan Eko Saputro, SH.,MH

 Hubungi kami!

SOSIALISASI LEGALITAS PUNGUTAN DESA PAKRAMAN

Kepala Kejaksaan Negeri Gianyar Bayu A. Arinto pada hari Rabu tanggal 29 Nopember 2017 telah memberikan pencerahan kepada 155 (seratus lima puluh lima) Bendesa Pakraman se-Kabupaten Gianyar terkait legalitas pungutan yang dilakukan oleh Desa Pakraman. Kegiatan yang dilaksanakan di Balai Budaya Gianyar tersebut disambut dengan sangat antusias oleh para Bendesa yang hadir pada kesempatan tersebut.

Bupati Gianyar Anak Agung Gede Bharata dalam sambutannya ketika membuka kegiatan tersebut sangat mengapresiasi langkah yang diambil Kepala Kejaksaan Negeri Gianyar yang telah berinisiatif untuk memberikan sosialisasi dengan tema yang dirasakan sangat sensitif belakangan ini. Hal ini sangat beralasan karena adanya ketakutan dikalangan para Bendesa dalam melaksanakan pungutan di desa pakraman masing-masing karena adanya penindakan oleh Tim Saber Pungli.

 

Kepala Kejaksaan Negeri Gianyar mengawali paparannya menyebutkan bahwa Desa Pakraman memiliki hak otonomi semenjak desa pakraman tersebut terbentuk. Hak otonomi yang dimiliki Desa Pakraman meliputi :

  • Otonomi kelembagaan : kekuasaan desa pakraman dalam mengorganisir kehidupan warganya ;
  • Otonomi bidang sosial ekonomi : mengatur harta kekayaan desanya;
  • Otonomi penyelenggaraan agama : pengurusan hak dan kewajiban warganya dalam upacara adat dan agama

 

Namun hak otonom yang dimiliki Desa Pakraman ada batasannya sebagaimana teori yang dicetuskan oleh SALLY FLAK MOORE yang apabila dihubungkan dengan otonomi Desa Pakraman maka otonomi Desa Pakraman hanya berlaku dalam lingkungan sendiri, diluar Desa Pakraman ada entitas yang lebih besar dan melingkupi Desa Pakraman itu sendiri yakni kekuasaan negara. Karena desa pakraman merupakan bagian dari negara (NKRI) dan bukan negara dalam negara. Oleh karena itu hukum-hukum bentukan Desa Pakraman menjadi semi otonom bila dihadapkan dengan hukum negara.  

Selanjutnya ditegaskan bahwa pungutan yang dilakukan oleh Desa Pakraman yang akan menjadi pendapatan Desa Pakraman, maka pungutan tersebut harus didasarkan atas awig-awig desa setempat sesuai bunyi Pasal Pasal 10 ayat (3) Perda No. 3 / 2001 yang menyebutkan “Tata pengelolaan dan penggunaan pendapatan desa pakraman dimaksud ayat (1) pasal ini diatur dalam awig-awig”

 Namun demikian walaupun sudah ada awig-awig yang mengatur mengenai pungutan tersebut tidak serta merta pungutan tersebut menjadi sah, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Perda Nomor : 3 Tahun 2001 yang menyebutkan: “awig-awig Desa Pakraman tidak boleh bertentangan dengan Agama, Pancasila, UUD 1945 dan Hak Asasi Manusia”. Jadi pungutan akan sah sepanjang awig-awig yang menjadi “payung hukum lokal” tersebut tidak bertentangan dengan hukum positif.

Ketentuan Pasal 11 ayat (2) Perda Nomor : 3 Tahun 2001 tersebut secara eksplisit telah memberikan batasan otonomi desa pakraman khususnya dalam hal awig-awig yang tidak boleh bertentangan dengan hukum positif, sesuai dengan slogan Desa Mawa Cara (masing-masing desa mempunyai adat istiadat tersendiri), Negara Mawa Tata (segala sesuatunya akan dikembalikan kepada hukum negara).